Belakangan ini Indonesia dikejutkan suatu kejahatan yang terjadi di tengah masyarakat telah menimbulkan keresahan yang tidak bisa dibendung lagi. Seperti contoh kasus pidana umum yaitu pencurian, apabila seseorang melakukan kejahatan tersebut maka bisa jadi masyarakat akan melakukan tindakan berupa menghakimi sepihak pelaku kejahatan bisa dalam bentuk pemukulan, penganiayaan dsb. Bahkan belakangan ini telah terjadi kriminalisasi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum kepada saksi.
Padahal kita pahami bahwa dalam hukum pidana ada yang dinamakan Asas Praduga Tak Bersalah yaitu asas di mana seseorang dianggap tidak bersalah hingga pengadilan menyatakan bersalah. Maka hal ini perlu adanya pemahaman bahwa setiap pelaku kejahatan itu memiliki hak yang harus dilindungi, bahkan apabila pelaku telah berstatus menjadi tersangka.
Hak dari tersangka pidana untuk mendapatkan pembelaan hukum merupakan suatu hak fundamental yang dijamin oleh hukum dan negara kepada tersangka dari suatu tindak pidana untuk mendapat pembelaan hukum dalam konteks hak-haknya terlindungi. Salah satunya adalah mendapatkan pembelaan hukum dari seseorang yang telah diatur oleh undang-undang.
Dan hal ini berlaku kepada seluruh proses hukum pidana, sehingga tersangka pidana tersebut tidak dirugikan haknya dalam proses hukum tersebut dan dapat menjalankan proses hukumnya secara yang tidak merugikan dirinya sehingga tercapai suatu ketentuan hukum berkeadilan bagi dirinya sendiri, bagi korban kejahatan, maupun bagi seluruh masyarakat secara keseluruhan.
Dalam hal ini biasanya tersangka bisa mendapatkan pembelaan dari pemerintah maupun yang berprofesi advokat yang menawarkan atau menyediakan bantuan hukum secara Cuma-cuma terhadap tersangka pidana tertentu.
Selain mendapatkan hak pembelaan, tersangka juga berhak untuk diam dan tidak dilakukan kriminalisasi terhadap dirinya. Dilapangan bisa kita lihat betapa banyak tersangka dikriminalisasi terhadap dirinya agar mengakui bahwa dirinya bersalah melakukan suatu kejahatan. Padahal untuk mencari bukti bahwa ia bersalah itu adalah pihak aparat penegak hukum yang dalam hal ini kepolisian atau kejaksaan yang harus membuktikan kesalahan dari tersangka pidana.
Hal ini bisa kita lihat dari prinsip bahwa melepaskan 10 orang yang bersalah lebih baik daripada menghukum seseorang yang tidak bersalah. Karena itu tidaklah pantas bahkan bertentangan prinsip hukum apabila ada seseorang maupun aparat penegak hukum melakukan kriminalisasi terhadap tersangka.
Sebaliknya, apabila pertanyaan tersebut diajukan kepada saksi, terdapat kewajiban hukum bagi saksi untuk menjawabnya, asalkan jawabannya itu tidak berbahaya kepadanya, berbahaya dalam arti informasi dari jawaban tersebut dapat membantu penyidik untuk mengajukan proses pidana terhadap saksi yang bersangkutan.
Maka larangan terhadap kriminalisasi diri yang merupakan suatu larangan terhadap pemaksaan untuk menjadi saksi atau tersangka yang membahayakan atau membawa konsekuensi hukum terhadap diri saksi atau tersangka tersebut (self-incrimination) memiliki justifikasi yang cukup valid, yakni penghormatan terhadap harkat dan martabat saksi atau tersangka itu sendiri.
Karena kalau dilihat dari konteks kajian Hak Asasi Manusia (HAM) secara jelas bahwa dikatakan berfokus kepada kehidupan dan martabat manusia terutama dalam prinsip dalam perlindungan demi mendapatkan hak dan keadilan.
Bahkan negara beserta aparatnya wajib menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia (HAM) yang dalam hal ini tidak dapat dicabut dan diambil, terlebih secara sewenang-wenang dan setiap hak itu saling terkait dan saling menguatkan.
Dalam hal ini apabila terjadi suatu kekerasan ataupun penyiksaan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum ataupun warga sipil kepada tersangka atau saksi. Maka ia statusnya bisa menjadi korban, dan berhak untuk melakukan pelaporan kepada yang telah ditentukan berupa mekanisme-mekanisme hukum yang ada baik secara Nasional ke Negara (Judisial dan Non Judisial) maupun menggunakan mekanisme Internasional (untuk kampanye dan advokasi kebijakan).
Pertama, ada mekanisme Judisial ini bisa melaporkan kepada Kepolisian lewat mekanisme Pidana (melalui Unit Reserse Kriminal) dan/atau melalui mekanisme Kode Etik (melalui Propam). Lalu apabila yang melakukan penyiksaan itu adalah Institusi TNI, maka pelapor harus melaporkan ke POM TNI. Bisa juga lewat Pengadilan Negeri, yaitu Penggabungan Perkara, dimana pihak korban atau keluarga korban dapat meminta kepada Jaksa Penuntut Umum dalam proses persidangan untuk menggabungkan perkara antara perkara Pidana dan perkara Perdata. Yang dalam hal ini diatur dalam KUHAP Pasal 98 ayat (1).
Kedua, ada mekanisme Non Judisial yaitu bisa melaporkan kepada Komas HAM, Ombudsman RI, Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas), Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Komnas Perempuan, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Komisi Yudisial, Komisi Kejaksaan, Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A). Ketiga, yang terakhir bisa melakukan pelaporan ke Mekanisme Internasional yaitu lewat Komite Hak Asasi Manusia PBB.
Maka apabila masyarakat melanggar aturan yang sudah ada konsekuensinya adalah mendapatkan hukuman. Proses dalam penetapan hukuman terhadap pelaku kejahatan itu juga telah diatur sedemikian rupa di dalam undang-undang kita.
Negara yang baik adalah menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia terutama dalam proses penegakan hukum. Keadilan akan diciptakan apabila berjalan di jalur yang sudah disediakan. Negara hukum harus menjamin keadilan dan kepastian hukum karena keadilan bukan disamaratakan tetapi keadilan adalah menempatkan sesuatu pada porsinya.
Disediakan oleh,
Hidayat
Medan, Indonesia
Hantar karya anda di emel [email protected].
Karya yang terpilih akan disiarkan di laman web Jejak Tarbiah dan mendapat baucar buku RM30!
You must be logged in to post a comment.
Co-working space l Seminar l Kelas l Wacana l dan lain-lain ?