James R. Rush, Seorang profesor sejarah dari Arizona State University, Amerika Syarikat telah menulis sebuah buku berjudul Hamka’s Great Story: A Master Writer‘s Vision of Islam for Modern Indonesia yang kemudian diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia dengan tajuk Adicerita Hamka: Visi Islam Sang Penulis Besar untuk Indonesia Modern. Menurut hemat penulis, karya itu adalah sebuah pengakuan yang tepat dan jujur. Bagaimana seorang Hamka memperkenalkan Islam yang moden. Islam berkebangsaan. Cinta tanah air. Berbeda-beda tetapi tetap satu. Namun bagi Hamka prinsip tetap prinsip. Hak adalah hak. Batil adalah batil. Air memang tidak dapat larut dengan minyak tetapi minyak dan air dapat bertemu dan berteduh disebuah cawan. Begitulah cara Hamka sebagai seorang muslim negarawan mencintai Indonesia.
Dan ada sebuah cerita menarik saat embun masih mengantung di dedaunan. Saat itu sebahagian orang masih berselimut tanpa sedar. Sebahagian lagi tengah membelah dinginnya pagi dengan sebatang lampu suluh dan sepasang selipar demi menemukan sekeping perhiasan yang lebih berharga ke timbang dunia dan segala yang ada di dalamnya. Maka tibalah Hamka di sebuah masjid yang majoriti penduduknya Nahdlatul Ulama, membaca qunut saat subuh. Sedangkan Hamka adalah pengikut Muhammadiyah yang tidak membaca doa qunut subuh. Dan hamka dibaiat oleh jemaah sebagai imam. Namun yang membuat cerita ini lebih menarik adalah jemaah terkejut ketika rakaat kedua Hamka membaca doa qunut dengan fasih. Demikianlah yang ditulis oleh Tasirun Sulaiman dalam karyanya Wisdom of Gontor.
Jauh daripada itu, saat Presiden Indonesia Pertama, Ir. Soekarno mengisytiharkan konfrontasi Indonesia terhadap Malaysia, Buya Hamka dilabel separatis (puak pemisah) kerana berikan dukungan kepada Malaysia. Kata Hamka “Mengapa negara serumpun diserang?”, namun kata penguasa Indonesia Hamka adalah seorang makar. Maka dimasukanlah Hamka ke dalam penjara tanpa proses mahkamah. Dipenjara Hamka, disoal siasat sampai sepatu polis menginjak kemeja, di dekat wajah Hamka. Bahkan Hamka pernah dimasukkan ke dalam air kolam yang dialiri sengatan listrik. Di bilik soal siasat itu pulalah Hamka merasa sangat hina. Di masjid Hamka dimuliakan, di kampung halaman bergelar datok. Sampai terdetik di hati Hamka untuk melukai dirinya sendiri kerana merasa sangat dihinakan. Persis seperti yang ditulis hamka dalam buku Tasawuf Modernnya.
“Disaat seperti itu, setelah saya tinggal seorang diri, datanglah tetamu yang tidak diundang, dan yang memang selalu datang kepada manusia disaat seperti demikian. Yang datang itu ialah SETAN! Dia membisikkan ke dalam hati saya, supaya saya ingat bahwa di dalam simpanan saya masih ada pisau silet. Kalau pisau itu dipotongkan saja kepada urat nadi, sebentar kita sudah mati. Biar orang tahu bahwa kita mati karena tidak tahan menderita”.
Di sebuah kisah yang lain Hamka tidak saja dimusuhi secara pemikiran oleh Mr. Moh Yamin, salah seorang founding father Indonesia yang kesal dengan pidato Hamka perihal dasar negara Indonesia berdasarkan agama Islam yang diucapkan Hamka di Gedung Konstituante Bandung, provinsi Jawa Barat. Kondisi itu diaminkan Hamka saat seorang ulama yang bernama KH. Isa Anshari berkunjung ke rumah Hamka sembari bertanya tentang hubungan Hamka dengan Mr. Moh Yamin. “Rupanya bukan saja wajahnya yang diperlihatkan kebenciannya kepada saya, hati nuraninya pun ikut membenci saya,” jawab Hamka.
Dan terakhir, Hamka pernah dituding sebagai seorang plagiat oleh nahkoda Majalah Harian Bintang Timur, Pramoedya Ananta Toer bersama kawan-kawanya melalui akhbar Lentera. Mereka mengatakan bahwa Romansa Tenggelamnya Kapal Van der Wijck karya Hamka yang terbit tahun 1938 itu adalah karyanya sasterawan Mesir, Mustafa Al-Manfaluthi yang bertajuk Al Majdulin. Mereka mengatakan bahwa ceritanya sama, tokohnya sama yang berbeda hanya lokasinya saja. Berhari-hari bahkan berbulan-bulan mereka menyerang dan membunuh karakter hamka dengan membagi kata dusta pada karya Hamka.
Adakah Hamka membalasnya? Tidak. Bahkan ketika tahun berganti tahun datanglah seorang anak gadis bernama Astuti datang berdampingan dengan seorang cina bujang yang ingin menjadi mualaf ke rumah Hamka. Kepada Hamka Astuti meminta supaya mengislamkan calon suaminya dan meminta agar Hamka sudi mengajarkan agama Islam kepada mereka kerana itu adalah permintaan orang tua mereka. Ditanyalah oleh Hamka siapa ayahnya maka Astuti menjawab Pramoedya Ananta Toer. Adakah Hamka mengusir mereka? Tidak. Hamka mengislamkan menantu orang yang memfitnahnya dan mengenalkan Islam kepada mereka.
Adakah Hamka marah? Tidak. Tibalah suatu ketika saat seorang pembesar negara, Chaerul Saleh memberikan pesan bahawa Mr. Moh Yamin sangat sakit. Bahawa beliau ingin Hamka yang mendampinginya di rumah sakit dan juga bila wafat, Mr. Moh Yamin ingin Hamka menemani jenazahnya sampai pemakaman. Adakah Hamka menolak? Tidak. Hamka bersegera ke rumah sakit dan menunaikan semua keinginan lawan politiknya tanpa benci.
Adakah hamka ingin membalas dendam? Tidak. Dan tiba jualah masa saat hamka membaca sebuah surat yang bertuliskan “Bila aku mati kelak, minta kesediaan Hamka untuk menjadi imam solat jenazahku.” Tertanda Ir. Soekrano. Adakah Hamka senang? Tidak. Hamka kehilangan. Hamka bersedih. Tanpa fikir panjang Hamka bergegas menunaikan permintaan itu. Dedaunan berguguran saat kebencian di pupuk. Dendam masih bonsai meski hujan. Semua hilang dan berlalu.
Dan saat ada jemaah yang bertanya kenapa Hamka sudi menjadi imam solat Ir.soekrano. Hamka menjawab. “Hanya Allah yang mengetahui seseorang itu munafik atau tidak. Yang jelas, sampai ajalnya, dia tetap seorang muslim. Kita wajib menyelenggarakan jenazahnya dengan baik. Saya tidak pernah dendam kepada orang yang pernah menyakiti saya. Dendam itu termasuk dosa. Selama dua tahun empat bulan saya ditahan, saya merasa semua itu anugerah daripada Allah kepada saya, sehingga saya dapat menyelesaikan Kitab Tafsir Al Quran 30 Juz. Bila bukan dalam tahanan, tidak mungkin ada waktu saya untuk mengerjakan dan menyelesaikan pekerjaan itu.”.
Hamka’s Great Story
Hamka tidak hanya mampu menulis dengan indah dan agrumentatif sehingga karyanya dicari dan dirujuk. Tidak sekadar pandai berpidato sehingga didengar dengan baik. Tetapi mampu mengambarkan Islam yang rahmatan lil alamin kepada siapapun dengan kepribadiannya. Dalam daripada itu menurut penulis hamka bukan hanya for Modern Indonesia but for the modern world.
Oleh: Muhammad Yunus, mahasiswa Indonesia yang berasal dari Provinsi Riau Indonesia
You must be logged in to post a comment.
Co-working space l Seminar l Kelas l Wacana l dan lain-lain ?